"ayo travelling, kaku lo, masa di rumah terus kalo liburan"
"ayo jalan-jalan pas long weekend ini, katanya travelling itu baik loh untuk kesehatan mental"
"ayo kita ke raja ampat, bosen nih sama kerjaan"
Pada saat ini, jargon-jargon dan ajakan travelling memang sering sekali terdengar atau bermunculan di media sosial. Tidak ketinggalan pula hasil jepretan di lokasi travelling yang terpampang di media sosial seolah mengajak kita untuk pergi ke tempat tersebut.
Bisnis-bisnis travelling pun semakin menjamur dengan tawaran-tawaran harga promo yang memikat. Tidak ketinggalan pula usaha pemerintah serta beberapa tokoh masyarakat yang seolah menggalakkan travelling.
Anak-anak muda berbondong-bondong melakukan travelling, entah itu mendaki gunung, menyelami laut, atau pergi ke negeri seberang. Tidak gaul dan tidak eksis katanya kalau belum travelling. Pikirannya sempit dan mainnya kurang jauh juga katanya kalau jarang travelling.
Sebagai anak muda, mau gak mau pemikiran, jargon, dan ajakan tersebut akan kena dan mempengaruhi gue baik langsung atau tidak langsung. Sejujurnya gue bukan pembenci travelling, tapi melihat fenomena travelling saat ini, mau gak mau gue bertanya:
Mau travelling atau mau pamer?
Ya, ini adalah pertanyaan gue yang pertama terkait travelling.
Gue sering bertanya-tanya, apakah tujuan para traveller itu melakukan travelling? Memang mau murni mau menikmati perjalanan, mengistirahatkan pikiran, dan merubah hidup? atau jangan-jangan hanya mau pamer?
Yap, bener banget, memamerkan perjalanannya dan keseruannya, yang kadang menurut gue pribadi sih biasa aja. Makin parah kalo ceritanya disertai dengan superiority complex.
Ya ya ya, gue ngerti kok gak ada yang salah dengan lo mau pamer apapun, itu hak lo. Tapi, patutkah pamer itu dijadikan motivasi utama lo untuk travelling?
Travelling itu bisa merubah pandangan lo tentang hidup, ah masa?
Ini salah satu jargon yang sering gue denger tentang travelling. Katanya kalo lo sering travelling, lo bakal lebih banyak melihat dunia, terus pandangan hidup lo akan berkembang. Yang lebih bombastis bahkan katanya itu gak sekedar merubah pandangan hidup, tapi hidup itu sendiri. Ya, katanya hidup lo bisa berubah dengan melakukan travelling.
Gue penasaran dengan gimana dan kaya apa sih perubahan di hidup yang terjadi akibat travelling? Segitu signifikannyakah? Apakah ada bukti validnya? Apakah ada penelitian atau hasil saintifik yang membuktikan hal tersebut?
Atau jangan-jangan itu hanya sekedar overstatement yang memicu overglorifikasi dari travelling itu sendiri.
Pada saat travelling itu memang lo berpotensi bertemu orang-orang dan lingkungan yang baru. Tapi exposure atau waktu lo bertemu dengan orang dan lingkungan baru tersebut hanya sebentar. Hitungan hari atau mungkin hanya hitungan jam? Apakah waktu yang pendek tersebut dapat berpengaruh ke pandangan hidup lo?
Bukankah lebih baik lo merantau? Ketemu orang dan lingkungan baru dalam waktu lama serta benar-benar bisa belajar yang namanya adaptasi. Terkait dengan waktu exposure nya, gue yakin mau gak mau itu akan merubah hidup atau minimal pandangan lo tentang hidup itu sendiri.
Eh gue lupa, lebih enak tinggal di lingkungan sendiri yang jelas ada dalam zona nyaman ya, terus sekali-kali travelling dengan dalih untuk update pandangan hidup. Ya, hidup lebih nyaman bila bermanja-manja kan?
Travelling itu bukan tentang berapa uang yang keluar, tapi bagaimana pengalaman yang kita dapatkan. Hmmm, sejak kapan pengalaman bisa digunakan untuk bayar tagihan?
Kita semua tahu kalo travelling itu mau tidak mau akan mengeluarkan uang. Transportasi, akomodasi, makanan, merupakan pengeluaran utama. Belum menghitung pengeluaran tidak diduga untuk oleh-oleh atau kelebihan berat bagasi. Jangan lupakan pengeluaran untuk membeli pakaian yang cocok agar bisa instagrammable saat difoto.
Yap, dalam travelling itu emang banyak hidden cost. Pengeluaran yang udah direncanain kadang gak sesuai sama realitanya, biasanya sih membengkak pake banget.
Dalam melakukan travelling, tidak jarang kita mengeluarkan uang hasil bekerja yang sudah kita tabung susah payah. Bahkan kadang kita meminjam uang atau menggunakan kartu kredit untuk membiayai travelling.
"Tapi kan kalo travelling kita bakal dapet pengalaman yang gak bisa kita beli pake uang?"
Ya, bener kok bener, tapi setelah travelling selesai lo akan berhadapan dengan tagihan travelling, apalagi kalo lo berhutang untuk pembiayaannya. Apakah pengalaman lo itu bisa digunakan untuk membayar tagihan itu?
"Ah kan uang gue ini, lo ngapain sih ngatur-ngatur, suka-suka gue dong mau gue pake buat travelling terus"
Ya ya, gue tau kok kalo itu uang lo dan gue gak berhak komentarin gimana cara lo menghabiskan uang lo. Tapi apakah lo udah punya tabungan cukup untuk diri lo sendiri atau untuk keluarga lo?
Apakah lo udah punya dana darurat atau investasi yang cukup untuk diri lo sendiri?
Apakah lo berhutang untuk membiayai "pengalaman" lo itu?
Ohiya gue lupa lagi, hidup itu emang lebih asik untuk dijalani di masa sekarang aja ya, enakan travelling terus kok, daripada mikirin masa depan kan?
"Pengalaman" itu juga bisa dipake kan ya buat bayar tagihan? Ah betapa mudahnya metode pembayaran hutang jaman sekarang.
Akhir Kata
Gue tegesin sekali lagi, disini gue bukan pembenci atau travelling haters, gue suka kok travelling. Yang gue sorotin di tulisan ini hanyalah overglorifikasi dari travelling itu sendiri.
Budaya pamer, khayalan tentang perubahan pandangan hidup, dan perencanaan finansial untuk travelling itu yang gue tekankan pada tulisan ini. Ketiga faktor tersebut membuat overglorifikasi traveling semakin hidup dan menjadi. Apakah lo merasakan hal yang sama? atau jangan-jangan lo termasuk ke dalam anggota para pengoverglorifikasi traveling?
Adam Prabata
30 Mei 2019
Kobe, Jepang
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
ReplyDeletehanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^