Memilih tidak bekerja demi mengurus anak? Mungkin hal tersebut tidak terdengar lazim untuk kalangan ibu-ibu di Indonesia, terutama kaum pro perempuan bekerja.
Ya emang berdasarkan pengamatan gue, di Indonesia saat ini ada 2 kubu ibu-ibu, yaitu ibu rumah tangga dan ibu bekerja/karir. Masing-masing kubu memiliki pandangan masing-masing yang menguatkan perannya, bahkan tidak jarang juga saling sindir dan memuji diri sendiri di medsos.
Argumen "perempuan itu kodratnya di rumah," " lebih baik mengasuh anak sendiri dibandingkan dititipkan," serta segunung argumen lainnya menjadi penguat argumen para ibu rumah tangga. Di lain pihak argumen "perempuan tidak boleh dibatasi potensinya," "perempuan juga bisa berkontribusi," dan pelbagai argumen lain menjadi tolak pandangan para ibu bekerja.
Gue sedikit banyak sering mendengar argumen-argumen tersebut, terutama di media sosial. Sepeti biasa, setiap pihak memang memiliki argumen masing-masing yang akan menguatkan posisi dirinya. Setiap pihak juga tidak sepenuhnya rela bila argumennya dibantah atau dipatahkan.
Beberapa waktu lalu, di tempat dan waktu serta dari sumber yang tidak disangka-sangka, gue mendengar argumen yang bagus mengenai permasalahan ini. Seperti yang lo lihat dari judulnya, argumen ini datang dari wanita Jepang, tidak hanya satu, melainkan beberapa, dan kebetulan semuanya sepakat mengenai argumen tersebut.
Jadi begini ceritanya
Suatu siang saat sedang bekerja bersama murid-murid calon sarjana farmasi di Jepang yang sebentar lagi akan lulus, gue menanyakan tentang rencana pekerjaan mereka. Oiya percakapan ini terjadi dalam bahasa Inggris campur bahasa Jepang, tapi gue terjemahkan ke bahasa Indonesia biar mudah mencernanya.
A (Gue)
M1 (Murid 1)
M2 (Murid 2)
M3 (Murid 3)
A: Jadi gimana? Kalian udah keterima kerja belum?
M1: Belum, masih ada beberapa tahapan lagi nih hingga diterima di rumah sakit nya.
M2: Sama nih, di rumah sakit yang gue tuju belum selesai ujiannya.
M3: Udah keterima di apotik, tinggal lulus aja abis itu siap kerja.
FYI, bekerja sebagai apoteker di rumah sakit di Jepang kerjanya cukup berat, ada shift pagi 8 jam dan shift malam 16 jam. Masuknya 6 hari dalam seminggu. Biasanya yang berminat kerja di rumah sakit adalah orang yang ingin melanjutkan menjadi spesialis. Btw, kerja di Jepang itu gak ada waktu nongkrong-nongkrong atau ngobrol asik saat bekerja, beda ya sama di Indonesia, haha.
A: Wah hebat. Oiya, M1 dan M2, kalian berminat kerja di rumah sakit sampai jadi nenek-nenek? hahaha.
M1: Hmmm, enggak, soalnya gue mau nikah.
A: HAH?! Apa hubungannya neng?
M1: Kerja di rumah sakit itu sibuk, jadi nanti sulit ada waktu untuk keluarga.
M2: (Tiba-tiba nimbrung) Iya, kita kan juga mau punya anak.
A: (diem doang, bengong sama jawaban mereka)
Merasa ada yang janggal di percakapan tersebut? Gue sih iya karena kenapa ini tiba-tiba nyambung masalah pekerjaan ke menikah, keluarga, dan punya anak. Gue yang penasaran pun segera melanjutkan percakapan.
A: Sebentar sebentar, kenapa tiba-tiba nyambung ke lo pada mau punya anak?
M2: Iya. kalo kita sibuk banget kerjanya kaya di RS, nanti anak dan suami kita akan terbengkalai mengurusnya.
A: Jadi kalian akan pindah dari rumah sakit kalau nanti punya anak?
M2: Iya, mungkin pindah ke apotek atau mungkin gue akan gak bekerja juga bila sudah punya anak.
M1: Kalau gue akan menikah setelah jadi spesialis, kemudian baru memutuskan akan punya anak apa enggak. Kalau gue mau tetap kerja di rumah sakit, mungkin gue gak akan punya anak atau punya tapi hanya 1 anak. Tapi kemungkinan besar, gue akan pindah kerja atau tidak bekerja.
M3: Nah itu dia salah satu alesan kenapa gue milih kerja di apotek dari awal.
Gue yang mendengarkan makin terperangah, kenapa mereka ini bisa berpikir segitunya. Rela pindah pekerjaan ke tempat yang tidak sibuk, bahkan berhenti bekerja demi anak dan suami.
A: Kenapa kalian berpikir begitu? Maksudnya sampe rela pindah kerja atau tidak bekerja demi anak dan suami?
M1: Karena suami sama anak itu tanggung jawab kita sebagai istri.
M2&M3: Sepakat
A: Apa rata-rata orang Jepang berpikiran begitu?
M1&M2&M3: Iya benar.
Tanggung Jawab Istri?
Setelah mendengar kata-kata "tanggung jawab" tersebut, gue langsung berpikir, "WOW! Segitunya ya cara berpikir perempuan di negara Jepang."
Gue melihat di Indonesia sepertinya banyak perempuan yang rela bekerja sangat keras, dari pagi hingga malam, dalam lingkup kerja yang sibuk, dan tetap memiliki anak, bahkan lebih dari satu. Bahkan gue dan istri juga sama-sama dibesarkan dalam keluarga dengan ibu yang bekerja.
Gue jadi bertanya-tanya, apakah emang tanggung jawab seorang istri itu dipandang berbeda oleh orang Jepang dan Indonesia. Gue tau pasti semua perempuan di kedua negara itu mau bertanggung jawab terhadap keluarganya, tapi mungkin implementasinya aja yang beda. Selain itu, gak ada juga kan job desc baku seorang istri itu bagaimana tanggung jawabnya, jadi ya gue gak bisa bilang mana yang benar dan mana yang kurang benar.
Apakah bekerja membantu suami mencari nafkah dan meninggalkan anak di rumah bersama pembantu itu benar?
Apakah tidak bekerja atau keluar dari pekerjaan dan fokus mengurus anak di rumah itu hal yang benar?
Disisi Mana Sikap Gue?
Mungkin yang kenal sama gue udah tau jelas ya. Dalam pertikaian 2 kubu ibu-ibu, gue mengambil posisi sebagai pendukung ibu rumah tangga. Oleh karena itu, satu kata yang bisa gue utarakan untuk perspektif wanita Jepang tersebut adalah KAGUM!!
Gue sangat mendukung statement "karena suami sama anak itu tanggung jawab kita sebagai istri," bahkan gue lebih mendukung lagi kalu ditambah menjadi "karena keluarga (anak, istri/suami) itu tanggung jawab kita sebagai suami/istri." Ya, gue emang pendukung suami harus lebih banyak berkontribusi untuk keluarga, bukan hanya dalam segi finansial sebagai bread winner. Walaupun gue kadang gak ngerti bagaimana bentuk berkontribusi itu, tapi gue selalu berusaha untuk itu.
Mungkin bukan hanya istri yang perlu mengurangi pekerjaan atau tidak bekerja demi anak, melainkan suami juga perlu mengatur porsi pekerjaannya demi istri dan anaknya.
Uang bisa dicari lagi, tapi apakah waktu yang hilang bersama anak bisa diganti?
Jabatan bisa dikejar lagi, tapi apakah kebersamaan bersama keluarga bisa dikejar lagi?
Sepenting apakah tahta dan gelar kalau dibandingkan dengan anak lo lupa sama lo?
Ya emang kadang kita lupa sama kebahagiaan yang sebenarnya, kecuali kalo kebahagiaan sejati lo adalah harta dan tahta ya berenti aja bacanya disini.
Perbedaan perspektif yang gue alamin tersebut malah memacu gue untuk jadi suami dan anak yang lebih baik. Semakin memacu untuk mencari cara bagaimana bisa tetap memiliki banyak waktu dengan keluarga tapi tetap memiliki banyak uang. Gue adalah orang yang gak percaya dengan trade off waktu dan uang.
Konklusi
Perspektif dari wanita Jepang yang gue dapatkan ini sangat menarik, dimana anak dan suami dipandang sebagai sebuah tanggung jawab dan diimplementasikan dengan berhenti atau mengurangi pekerjaan demi menjaga tanggung jawab tersebut. Gue pribadi sangat kagum dan mendukung perspektif tersebut juga diterapkan untuk para suami.
Di lain sisi, gue juga tau bahwa para wanita yang bekerja dengan sibuk juga memiliki perspektif dan alasan tersendiri yang menguatkannya untuk tetap bekerja. Gue disini tidak menghakimi kalian kok. Gue hanya sepakat untuk tidak sepakat dengan kalian.
Intinya masing-masing dari setiap kubu punya pandangannya masing-masing. Kita harus saling mendukung dan menghormati, bukannya malah menuduh atau menjatuhkan.
Adam Prabata
20 Mei 2019
Kobe, Jepang
Jadi begini ceritanya
Suatu siang saat sedang bekerja bersama murid-murid calon sarjana farmasi di Jepang yang sebentar lagi akan lulus, gue menanyakan tentang rencana pekerjaan mereka. Oiya percakapan ini terjadi dalam bahasa Inggris campur bahasa Jepang, tapi gue terjemahkan ke bahasa Indonesia biar mudah mencernanya.
A (Gue)
M1 (Murid 1)
M2 (Murid 2)
M3 (Murid 3)
A: Jadi gimana? Kalian udah keterima kerja belum?
M1: Belum, masih ada beberapa tahapan lagi nih hingga diterima di rumah sakit nya.
M2: Sama nih, di rumah sakit yang gue tuju belum selesai ujiannya.
M3: Udah keterima di apotik, tinggal lulus aja abis itu siap kerja.
FYI, bekerja sebagai apoteker di rumah sakit di Jepang kerjanya cukup berat, ada shift pagi 8 jam dan shift malam 16 jam. Masuknya 6 hari dalam seminggu. Biasanya yang berminat kerja di rumah sakit adalah orang yang ingin melanjutkan menjadi spesialis. Btw, kerja di Jepang itu gak ada waktu nongkrong-nongkrong atau ngobrol asik saat bekerja, beda ya sama di Indonesia, haha.
A: Wah hebat. Oiya, M1 dan M2, kalian berminat kerja di rumah sakit sampai jadi nenek-nenek? hahaha.
M1: Hmmm, enggak, soalnya gue mau nikah.
A: HAH?! Apa hubungannya neng?
M1: Kerja di rumah sakit itu sibuk, jadi nanti sulit ada waktu untuk keluarga.
M2: (Tiba-tiba nimbrung) Iya, kita kan juga mau punya anak.
A: (diem doang, bengong sama jawaban mereka)
Merasa ada yang janggal di percakapan tersebut? Gue sih iya karena kenapa ini tiba-tiba nyambung masalah pekerjaan ke menikah, keluarga, dan punya anak. Gue yang penasaran pun segera melanjutkan percakapan.
A: Sebentar sebentar, kenapa tiba-tiba nyambung ke lo pada mau punya anak?
M2: Iya. kalo kita sibuk banget kerjanya kaya di RS, nanti anak dan suami kita akan terbengkalai mengurusnya.
A: Jadi kalian akan pindah dari rumah sakit kalau nanti punya anak?
M2: Iya, mungkin pindah ke apotek atau mungkin gue akan gak bekerja juga bila sudah punya anak.
M1: Kalau gue akan menikah setelah jadi spesialis, kemudian baru memutuskan akan punya anak apa enggak. Kalau gue mau tetap kerja di rumah sakit, mungkin gue gak akan punya anak atau punya tapi hanya 1 anak. Tapi kemungkinan besar, gue akan pindah kerja atau tidak bekerja.
M3: Nah itu dia salah satu alesan kenapa gue milih kerja di apotek dari awal.
Gue yang mendengarkan makin terperangah, kenapa mereka ini bisa berpikir segitunya. Rela pindah pekerjaan ke tempat yang tidak sibuk, bahkan berhenti bekerja demi anak dan suami.
A: Kenapa kalian berpikir begitu? Maksudnya sampe rela pindah kerja atau tidak bekerja demi anak dan suami?
M1: Karena suami sama anak itu tanggung jawab kita sebagai istri.
M2&M3: Sepakat
A: Apa rata-rata orang Jepang berpikiran begitu?
M1&M2&M3: Iya benar.
Tanggung Jawab Istri?
Setelah mendengar kata-kata "tanggung jawab" tersebut, gue langsung berpikir, "WOW! Segitunya ya cara berpikir perempuan di negara Jepang."
Gue melihat di Indonesia sepertinya banyak perempuan yang rela bekerja sangat keras, dari pagi hingga malam, dalam lingkup kerja yang sibuk, dan tetap memiliki anak, bahkan lebih dari satu. Bahkan gue dan istri juga sama-sama dibesarkan dalam keluarga dengan ibu yang bekerja.
Gue jadi bertanya-tanya, apakah emang tanggung jawab seorang istri itu dipandang berbeda oleh orang Jepang dan Indonesia. Gue tau pasti semua perempuan di kedua negara itu mau bertanggung jawab terhadap keluarganya, tapi mungkin implementasinya aja yang beda. Selain itu, gak ada juga kan job desc baku seorang istri itu bagaimana tanggung jawabnya, jadi ya gue gak bisa bilang mana yang benar dan mana yang kurang benar.
Apakah bekerja membantu suami mencari nafkah dan meninggalkan anak di rumah bersama pembantu itu benar?
Apakah tidak bekerja atau keluar dari pekerjaan dan fokus mengurus anak di rumah itu hal yang benar?
Disisi Mana Sikap Gue?
Mungkin yang kenal sama gue udah tau jelas ya. Dalam pertikaian 2 kubu ibu-ibu, gue mengambil posisi sebagai pendukung ibu rumah tangga. Oleh karena itu, satu kata yang bisa gue utarakan untuk perspektif wanita Jepang tersebut adalah KAGUM!!
Gue sangat mendukung statement "karena suami sama anak itu tanggung jawab kita sebagai istri," bahkan gue lebih mendukung lagi kalu ditambah menjadi "karena keluarga (anak, istri/suami) itu tanggung jawab kita sebagai suami/istri." Ya, gue emang pendukung suami harus lebih banyak berkontribusi untuk keluarga, bukan hanya dalam segi finansial sebagai bread winner. Walaupun gue kadang gak ngerti bagaimana bentuk berkontribusi itu, tapi gue selalu berusaha untuk itu.
Mungkin bukan hanya istri yang perlu mengurangi pekerjaan atau tidak bekerja demi anak, melainkan suami juga perlu mengatur porsi pekerjaannya demi istri dan anaknya.
Uang bisa dicari lagi, tapi apakah waktu yang hilang bersama anak bisa diganti?
Jabatan bisa dikejar lagi, tapi apakah kebersamaan bersama keluarga bisa dikejar lagi?
Sepenting apakah tahta dan gelar kalau dibandingkan dengan anak lo lupa sama lo?
Ya emang kadang kita lupa sama kebahagiaan yang sebenarnya, kecuali kalo kebahagiaan sejati lo adalah harta dan tahta ya berenti aja bacanya disini.
Perbedaan perspektif yang gue alamin tersebut malah memacu gue untuk jadi suami dan anak yang lebih baik. Semakin memacu untuk mencari cara bagaimana bisa tetap memiliki banyak waktu dengan keluarga tapi tetap memiliki banyak uang. Gue adalah orang yang gak percaya dengan trade off waktu dan uang.
Konklusi
Perspektif dari wanita Jepang yang gue dapatkan ini sangat menarik, dimana anak dan suami dipandang sebagai sebuah tanggung jawab dan diimplementasikan dengan berhenti atau mengurangi pekerjaan demi menjaga tanggung jawab tersebut. Gue pribadi sangat kagum dan mendukung perspektif tersebut juga diterapkan untuk para suami.
Di lain sisi, gue juga tau bahwa para wanita yang bekerja dengan sibuk juga memiliki perspektif dan alasan tersendiri yang menguatkannya untuk tetap bekerja. Gue disini tidak menghakimi kalian kok. Gue hanya sepakat untuk tidak sepakat dengan kalian.
Intinya masing-masing dari setiap kubu punya pandangannya masing-masing. Kita harus saling mendukung dan menghormati, bukannya malah menuduh atau menjatuhkan.
Adam Prabata
20 Mei 2019
Kobe, Jepang
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
ReplyDeletehanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^